Bung Karno dan sejumlah tokoh (1)



Hubungan Bung Karno dan Bung Hatta sungguh berwarna. Terkadang mesra, kompak, terkadang juga berlumur amarah. Bukan saja menyangkut soal politis, namun juga soal pribadi.
Saat Bung Karno hendak bercerai dengan Inggit Garnasih pada tahun 1942, Bung Hatta mengajukan diri untuk menentukan syarat-syarat perceraian bersama dua anggota Empat Serangkai lainnya, yaitu Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansyur. Ada dua syarat yang Bung Hatta ajukan, pertama, Bung Karno harus memberi belanja kepada Inggit setiap bulan sepanjang hidupnya, kedua, Bung Karno harus membelikan sebuah rumah di Bandung untuk Inggit.
Waktu berjalan, Kemerdekaan Indonesia tercapai. Soekarno menjadi Presiden dan Hatta menjadi wakilnya, merekalah sang proklamator, dwitunggal merah putih Indonesia yang terpatri abadi sampai sekarang. Namun, pada tahun 1956 mereka bubar, berbagai alasan membuat mereka kian berjauhan, salah satunya visi politik yang berbeda pendirian.
Bung Karno sendiri ingin meruntuhkan demokrasi parlementer, menggantinya dengan sebuah sistem yang disebut dengan demokrasi terpimpin. Sedangkan, Bung Hatta tidak setuju dan mengkritik keras terhadap Soekarno dan kepemimpinannya, dan hal itu ia tulis di artikel panjang berjudul Demokrasi Kita, berikut kutipan tulisannya “Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal… Tcuma, berhubung tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala tjiptaannya ia memandang garis bernja sadja. Hal-hal yang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannja”. Konon, Soekarno sangat marah dengan tulisan itu.
Pada tahun 1963, Hatta terkena stroke. Meski secara politik mereka ‘bermusuhan’, tetapi Soekarno datang ke rumah sakit untuk menjengut. Ia mendesak agar Hatta mau berobat ke Swedia dengan biaya dari negara. Saat itu Hatta bersedia, dan disana kesehatannya menjadi pulih. Setelah pulih, Hatta tidak langsung pulang ke Indonesia, tetapi berkunjung ke sejumlah negara Eropa dan Amerika untuk berceramah. Dalam salah satu ceramahnya, Hatta mengatakan “Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan Bung Karno. Tetapi, ia Presiden Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun…. Benar atau salah, ia Presiden saya”
Lalu pada juni 1970, kesehatan Soekarno memburuk. Bung Hatta datang menjenguk sahabat seperjuangannya itu. Sementara, Bung Karno seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan saudaranya tersebut.
Berkata lirih Soekarno kepada Hatta, “Hatta… kau disini…?” seperti di iris-iris hati Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya. Demi memompa semangat kepada sahabat, wajah teduh Bung Hatta menampakkan raut yang direkayasa, “Ya.. bagaimana keadaanmu, No?” begitu Hatta membalas sapaan lemah Karno, dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal perjuangan. Hatta memegang lembut tangan Bung Karno. Bung Karno melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at het met jou….” (Bagaimana keadaanmu?)
Hatta benar-benar tak kuasa lagi merekayasa raut teduh. Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgia. Apalagi, usai berkata-kata lemah, Soekarno menangis terisak-isak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan sahabat seperjuangannya. Seketika, Hatta pun tak kuasa membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah takut berpisah keduanya bertangis-tangisan. Bung Hatta tau, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tak akan lama lagi.
Dua hari kemudian, 21 juni 1970, Soekarno wafat.

Sumber :



Komentar