Kasmaran (V)

Make up tebal menghias wajah, pakaian ketat tertutup membalut tubuh, semerbak wewangian bunga membasuh baju. Tince. Semok, tidak. Najis, iya. Itulah dandanan Tince setiap paginya saat hendak pergi bekerja. Karaoke jelita yang buka siang hari sampai malam hari, yang terletak di dekat terminal Ibu Kota adalah tempat kerjanya Tince sebagai singer dadakan. Dadakan memang, tapi setiap jamnya selalu ada saja orang-orang yang memanggil Tince untuk bernyanyi bersama. ABG muda, ABG tua, duda kaya, duda miskin, lelaki kesepian, lelaki berisitri, selalu saja tertarik oleh suara emasnya tince, bukan saja suaranya, lihai badannya, centil bibirnya, apalagi kedipan matanya.

Malam beranjak naik. Sudah pukul sembilan malam. Tince berharap pekerjaannya selesai, menunggu tiba waktunya pulang. Tidak seperti malam biasa, malam itu pengunjung tampak sepi, keramaian dihabiskan dari siang hari sampai sore hari. Tince dengan lamunannya menunggu dua jam yang tersisa di luar karaoke, melihat pemandangan terminal yang mulai tampak sepi, bahkan beberapa ruko mulai berbenah untuk tutup. Pandangannya tertuju pada satu arah, yaitu ruko kelontong milik orang china, tampak seorang wanita muda yang sedang merapihkan barang-barang kelontong di ruko tersebut. Entah apa yang dipikirkan Tince. Yang jelas dia hanya melihat, memperhatikan, dan senyum-senyum tidak jelas. Pukul sebelas malam telah tiba, waktunya Tince untuk pulang. Melangkah pergi meninggalkan tempat kerja, Tince saat itu tidak langsung pulang, melainkan berkunjung ke ruko kelontong orang china, menemui dan menyapa perempuan yang daritadi dilihatnya.

“Hei aminah… masih belum selesai?” tanya Tince kepada perempuan yang ternyata bernama Aminah.
“Ehh.. Tince, sebentar lagi selesai ko” Jawab Aminah dengan senyumannya yang kecil.
“ohhh yasudah pulangnya bareng yukkk.. kita searah ini kan?” tanya Tince.
“Boleh… sebentar ya aku siap-siap dulu..” balas Aminah.

Malam dipinggir terminal. Tampak indah bagi Tince. Tampak biasa-biasa bagi Aminah. Terpaksa mereka pulang berjalan kaki, karena selarut malam itu angkutan umum sangat jarang beroperasi. Berdua menyisir trotoar, ditemani lampu-lampu jalanan, Tince yang memendam rasa pada Aminah ternyata tak bisa berkutik apa-apa ketika berdekatan dengan Aminah. Iya… memendam rasa, aneh memang, tapi itulah Tince.

Sesampainya di depan pagar rumah Aminah.
“Tince… aku duluan, makasih ya udah mau bareng.”
“ehhh, aku loh yang harusnya bilang makasih, iya hati-hati ya Minah.”
“ehhh haha yang bilang hati-hati harusnya kan aku ke kamu.”
“oh iyaya haha kan aku belum pulang ya, yasudah selamat malam ya Minah.”

Setelah Aminah masuk ke dalam rumah. Tince bukan main kegirangan di depan rumah Aminah. Sendirian. Lima menit. Cukup lima menit saja untuk kegirangan. Takut-takut dibilang babi ngepet kalau kelamaan. Mencurigakan. Selesai dari tempat Aminah, Tince meneruskan kembali perjalanan pulangnya, jauh memutar menelusuri arah kota.

Sementara di tempat lain, Iroh malam itu tidak langsung tidur, sedang membaca buku dan menunggu Tince. Hari itu Iroh memang belum pergi bekerja, masih ada beberapa hari cuti baginya. Sepanjang hari ia sibukan dengan merapihkan kostan, membersihkan sudut-sudut, mengepel sana-sini, memindahkan barang-barang agar kostan semakin luas. Maklum, setelah pertemuannya dengan Tince, mereka berdua sepakat untuk sementara tinggal bersama.

Lama menunggu, malam menunjukan jam satu lebih. “selarut ini Tince belum pulang-pulang.” Iroh khawatir akan keberadaan Tince. Entah apa yang dipikirkan Iroh, yang jelas perasaannya saat itu sedang gelisah. Gelisah dicampur rasa rindu pada adik kecilnya yang telah lama pisah.

Selang setengah jam kemudian. Suara tok-tok pintu kamar terdengar.
“ahhh itu pasti Tince.”
“teteh… Maaf pulangnya malam.”
 “heiiiiii pergi kemana dulu kamu malam-malam? Main sama om-om? Sama janda? Mabok?”
 “jangan kasar gituh dong teh.”
“habisnya malam-malam, izin dulu kek, bilang dulu kek.”
“abisnya gak ada pulsa, maaf atuh teteh jangan marah-marah terus ihhhh.”
“biarin, abisnya ngeselin.”
“atuh teteh da kalo marah-marah terus mah jelek kaya babi ijo.”
“kolor ijo kali.”
“ampun teteh ampun… gak lagi-lagi deh.”
“janji yah… terus kenapa pulang selarut malam ini?”
“nganter pulang temen dulu… cewek lohh teh, cewek ya, bukan cabe-cabean.”
“asliii…. Emang cewe mau dianter cewe cabe-cabean?”
“astagfirullah … gak nyambung si teteh mah ah, tunduh mah tidur atuh teh.”
“atuda penasaran… awas sia besok harus diceritain kalo engga cerita, engga akan dimaafin.”
“siap komandan.”


Malam itu. Rembulan bersinar elok sekali. Taburan bintang gemintang menghias indah di atas sana. Menari dan menerangi. Sepertiga malam. Hening oleh tidur mereka berdua. Sunyi oleh mimpi mereka berdua. Resah bercampur rindu. Cinta bercampur malu. Malam yang menjanjikan.

Komentar