Mengenang Masa Lalu (III)

à    Hitam. Warna seperti malam. Kekar. Roda-roda melingkar. Kereta tua yang jalur-jalur relnya membelah ibukota itu berderit berhenti di stasiun. Penumpang berwajah-wajah antusias, wajah-wajah lelah, wajah-wajah cabul, dan wajah-wajah mesum, berpadu menjadi satu. Diantara puluhan penumpang yang naik turun kereta itu ada satu orang yang selalu menatapku, memperhatikanku gerak-gerikku, langkahku, peringaiku, dan itu mencurigakan.

Hari demi hari. Bulan demi bulan. Rel berikutnya. Gerbong berikutnya. Kereta berikutnya. Sudah tidak asing lagi dikehidupanku. Bahkan orang mencurigakan pun aku sudah tau namanya. Anas. Anas Urbaningsih. Terdengar tidak asing namanya. Lelaki berbadan tegap dengan kumis tebal dan rambut jambul seperti elvis itu sudah memikat hatiku. Entah kenapa yang dulunya mencurigakan, lama-kelamaan bisa membisukan hatiku menjadi berbunga-bunga.

Keesokan harinya. Dari speaker tua stasiun kereta yang biasa mengumumkan “perhatian-perhatian…” atau “hati-hati digoda bencong…” mendadak berubah menjadi lantunanan lagu “Ingin kuludahi mukamu yang cantik, agar kau mengerti bahwa kau memang cantik. Ingin ku congkel keluar indah matamu, agar engkau tau memang indah matamu. Ingin ku robek hatimu, agar engkau tau memang aku cinta padamu. Kau Umairoh. Maukah kau menjadi pacarku?” ternyata itu suara Anas. “Ohhhh.. mengerikan memang, tapi bagiku itu seperti syair cinta romantis yang membuat hatiku terenyuh.” Dengan lantangnya aku jawab “Tentuu Anass…”

Semenjak hari itu aku dan Anas mengikat cinta dihadapan ratusan penumpang di stasiun kereta tua.

à    Siang hari. Bus damri tidak terlalu sesak oleh penumpang. Lumayan lega. Tetapi karena tidak sesak oleh penumpang, isi bus akan disesaki oleh pedagang, penghibur entertainer jalanan, penjual jasa masuk surga, penjual jasa kenikmatan surga, penjual jasa surga dunia, dan seisi bus lengkap atas gambaran ricuhnya kehidupan sehari-hari di kebun binatang.

Duduk paling depan di belakang pa sopir, berani meninggalkan kampung halaman demi janji dengan seorang teman yang meyakinkan. Idi Amin. Lahir di cengkareng, Badannya kerempeng, matanya sedikit jereng, kalau berjalan seperti gereng, senang pake mobil mentereng, orangnya kebal kerangkeng. Dia orang yang telah menginspirasiku untuk berani hidup di ibukota.

Aku yang dahulu polos terjebak dalam hidup yang jenuh, menyeringai bosan bertanya “apakah hidup ini bisa dirubah?” ternyata iya, secercah jawaban muncul dari orang yang bernama Idi Amin. Dia memberikanku kesempatan untuk sukses hidup meraih mimpi di Ibu Kota. Memaksimalkan potensi yang ada didalam diriku. Menjadi diriku yang bebas berekspresi.

Tahun demi tahun, Idi Amin mengajariku hidup yang baru. Hidup yang bebas, keras, lembek, lemah lembut, dan lemah gemulai. Iya menjadi banci sialan. Sialan memang tapi lambat laun ku menikmatinya dan nyaman atas kondisiku kini yang telah berubah. Awal mula dipertemukan dengan teman-temannya yang aneh. Paginya toto malamnya titi, paginya sunarto malamnya sunarti, paginya ahmad malamnya asyil, paginya ismed malamnya isye. Akupun melongo persis kebo bego, lihat potongan mereka mirip perempuan. Dari situpun aku menjadi Tince Sukarti.

Komentar