Perpisahan Masa Lalu (IV)
à Hijau. Lapisan terasering sawah yang menjuntai dari arah timur ke barat, dengan beberapa padi yang mulai mengkuning dan beberapa belalang tua diujung daun yang warnanya kuning kecoklat-coklatan. Dikelilingi berbagai macam pohon-pohon rindang, rimbun, elok dan sentuhan tanaman hijau yang tidak terhitung jenisnya. Mulai dari tanaman singkong sampai tanaman ganja yang entah milik siapa. Beratapkan langit yang berwarna gradasi biru terang kemilau mata. Berhiaskan burung layang-layang yang bernyayi ria dan menarikan formasi menggoda bakal pasangan.
Dikaki gunung, kokoh terdapat sebuah rumah yang lebih mirip mesjid ketimbang rumah hunian. Dirumah tersebut terdapat kesebalasan bocah-bocah liar yang selalu bergembira, berlalu lalang di teras rumah, menjahili temannya satu sama lain, dan tentunya pipis di celana. Memang kami tidak tau asal-usul kami, siapa ayah ibu, dimana kami dilahirkan. Yang kami tau hanyalah kekekeluargaan yang tumbuh di rumah panti di kaki gunung itu.
Tahun demi tahun tak terasa sudah tergantikan. Beranjak remaja gejolak hati kami mulai berwarna. Macam-macam rasa dan warna warni karakter mengkristal di diri kami masing-masing. Umairoh yang lebih tua umurnya ketimbang 10 anak lainnya. Peringainya lebih mirip laki-laki ketimbang perempuan. Sikapnya yang cuek, tenang, solid, dan pemberontak ini selalu menjadi kakak yang bisa mengayomi adik-adiknya. Termasuk Fulan satu-satunya lelaki dipanti itu yang selalu butuh perlindungannya Iroh.
Teringat. Pukul tiga sore hari, dijalan yang belum jadi, kami selalu melihat remaja-remaja lainnya, telanjang dada, telanjang kaki asik mengejar bola. Selalu kami hampiri dan dekati, duduk ditanah yang lebih tinggi, agar lebih jelas lihat dan rasakan, semangat mereka, keringat mereka dalam memenangkan permainan. Itulah Kebiasaan kami sehari-hari setelah lelah berjualan di pasar siang harinya. Fulan yang selalu ingin bermain bola, murung karena takut direndahkan oleh remaja-remaja besar lainnya, trauma berkependekan akan bahan olok-olokan yang selalu dilontarkan kepada Fulan. “Lemah, gemulai, centil, main salon-salonan saja sana dengan saudari-saudarimu yang lain.”
Iroh yang memang pemberani, bertanggung jawab untuk melindungi adik-adiknya, termasuk ejek-ejekan yang selalu meremehkan mereka. Tidak tanggung-tanggung biasanya Iroh selalu melawannya dengan adu jotos. Iya… adu jotos, perempuan satu melawan remaja tanggung sialan lainnya yang berjumlah lebih dari satu. Sakit, darah, lebam memang tidak sedikit yang Iroh terima, tapi setidaknya itu terbalas dengan rasa hormat kepada keluarga mereka. Sakitnya hati memang lebih sakit dibandingkan sakitnya badan. Cintanya kepada keluarga memang lebih berharga dibandingkan cintanya kepada seseorang.
à “Irohhhh… bolehkah aku tidur bersamamu?” Tanya ceria Fulan kepada Umairoh
“Boleh…” bisik lemah Iroh dengan senyumannya yang dibuat-buat
Entah minggu-minggu itu Iroh kehilangan semangat dalam hidupnya, seperti ada sesuatu yang hilang darinya. Apakah ia sakit. Entahlah. patah hati. Entahlah. Kalah judi. Entahlah. Yang jelas hari itu Umairoh tidak bergairah.
Ternyata sebulan yang lalu, Iroh mendapatkan sesuatu yang tidak diduga-duga, entah harus berbuat apa, entah harus menjawab apa. Sepasang suami istri yang sudah berumur, yang datang dari Ibu Kota, meminta izin kepada ibu pemilik panti untuk menjadikan Umairoh sebagai anak angkat mereka. Iya, Umairoh akan di adopsi. Terkejut hal itu Iroh menolak dengan keras. “Untuk apa aku di adopsi? toh umurku sudah dewasa, sudah tidak lucu-lucunya lagi.” tegas Iroh. Lagipula kehidupan di panti menurutnya sudah lengkap, nyaman, menjanjikan, membahagiakan, dan tentunya ia tidak ingin pisah dari saudara-saudarinya.
Sadar akan pastinya Iroh menolak, ibu pemilik panti dengan wajahnya yang teduh selalu menasihati Iroh hari demi hari dengan sabar, meyakinkan Iroh untuk mau meninggalkan kenyaman di rumah panti ini, melanjutkan hidup dengan tanggung jawab yang baru, menantang kerasnya kehidupan demi kebaikan Iroh, dan tentunya pintu rumah ini akan selalu terbuka lebar jika Iroh ingin kembali. Tersadar akan masa depan, dengan terpaksa Iroh mau melangkah pergi meninggalkan keluarganya tercinta, saudara-saudarinya tercinta, kampung halamannya tercinta. Pun dengan pikirannya yang positif. Ia meyakini. Tidak akan ada yang pergi dari hati. Tidak akan ada yang hilang dari kenangan. Sepenuh raga akan pergi, tapi setengah jiwa akan tetap tinggal. Melepas nyaman, mengais asa, menjemput harapannya yang baru.
Mereka. Anak-anak panti yang beranjak dewasa. Fulan dan ke sembilan saudari lainnya. Hati, rasa, dan jiwa, serta apa saja yang tersembunyi di dada, mulai tergetar. Tersadar akan kehilangan keindahan mata, kelembutan senyum, taburan kasih, Umairoh. Gelombang air mata, gelombang rindu, gelombang kasih sayang terus mengalir bagai air di musim penghujan, bagai gelombang samudra yang menghunjam pantai kehidupan.
Inikah yang namanya perpisahan. Kami tak tau harus berbuat apa-apa. Bayangmu akan sulit dicari. Kabut sunyi mulai merayap dihati. Angin dan burung-burung pun membisu. Tergetar hati kami. Kasih. Inilah nyanyian cinta untukmu. Inilah senandung rindu untukmu. Inilah lantunan doa untukmu. Yang entah akan kemana nanti.
Minggu itu. Setiap jam. Sepanjang hari. Uraian kata, bisikan suara, lantunan cerita, guraian air mata, dekapan rindu, warna-warni rasa, menghiasi diriku dan diri Fulan. Saling berbagi cerita terkenang masa lalu yang indah. Menguatkan hati kita untuk tidak ingin berpisah lagi. Saling melindungi, saling melengkapi, saling berbagi. Mengamini dengan bersyukur akan takdir yang dipertemukan kembali.
Terimakasih Tuhan.
Komentar
Posting Komentar