Malam yang menjanjikan (IX)
Menjelang sepertiga malam. Umairoh saat itu benar-benar tidak bisa
tidur. Bukan karena belum ngantuk, insomnia, apalagi ingin begadang. Ia tidak
bisa tidur, karena memikirkan lelaki di kafe tadi. Bukan. Bukan lelaki MLM itu.
Tetapi lelaki di kasir itu. Astaga, apa benar dia Fulan. Jelas tampak berbeda
dari Fulan sebelumnya. Rambutnya cepak belah satu, badannya tegap, mukanya
sedikit beringas, dan yang ia tau muka Fulan selalu bermimik genit. Kalaupun
Fulan, kenapa tidak menyapanya, sedikit senyum pun tidak. Heran. Tapi kenapa ia
merasa dekat dan kenal dengan lelaki ini, dan kenapa pula lelaki ini tidak
berani menatap matanya dan membalas senyumannya. Siapa dia? Siapa lelaki ini? Fulan? Benar, ia yakin lelaki ini
adalah Fulan. Tapi? Ah… benar-benar membingungkan.
Hanya sekitar tiga jam Iroh tertidur. Bangun dan lagi-lagi memikirkan
lelaki yang mirip seperti Fulan. Bahkan sampai terbawa ke dalam mimpi. Terlihat
dalam mimpi, seorang lelaki berjanggut panjang sedang berjihad dan tersenyum
padanya. Aneh. Benar-benar mimpi yang aneh. Sungguh penasaran. Ia berpikir dan
meniatkan diri, mungkin selesai dari pekerjaannya nanti, ia langsung pergi
mengunjungi kafe tadi malam dan mencari kebenaran atas lelaki ini. Menyusahkan
memang, tapi bersyukur rasanya jika lelaki itu benar-benar Fulan.
Jam sebelas siang. Selesai dari pekerjaan. Umairoh menunaikan niatnya
untuk mengunjungi kafe tadi malam. Nyatanya jam segitu kafe belum buka, kecewa,
tapi mau bagaimana lagi. Malas untuk pulang ke kostan, ia bingung harus kemana
dulu. Duduk dan melamun sebentar, Iroh tersadar akan rambutnya yang mulai
panjang, karena hal itu ia berniat untuk pergi ke salon terlebih dahulu. Yah… sedikit
bermanja-manjaan di salon tidak ada salahnya.
Siang yang sedang panas-panasnya. Beberapa meter dekat terminal.
Parkiran depan kafe yang entah kafe apa namanya. Dari kejauhan terlihat seorang
kasir beringas, berambut cepak beringas, memakai pakaian hitam-hitam beringas,
berperingai beringas, sedang duduk-duduk beringas di depan kasir kafe yang
tidak beringas. Iroh Mendekatinya, dan, ah… ternyata bukan lelaki yang mirip
Fulan. Termenung, lalu ia duduk dan sejenak memperhatikan dekorasi kafe. Sentuhan
kayu-kayu ala koboi, pernak pernik tua, poster-poster penyanyi-penyanyai lama,
dan sound yang tertata rapih di
tengah-tengah kafe. Merasakan nuansa kafe kemarin malam, memang berbeda dengan
nuansa kafe sore itu. Pengunjung pada malam hari tampak lebih ramai, akrab, dan
pecah suasananya bagaikan satu keluarga yang sedang bercengkrama hangat
membicarakan kehidupannya masing-masing, dengan hingar bingah lagu-lagu balada,
berbagai macam kopi nusantara, dan kepulan batang berasap, membuat suasana
selalu dinikmati oleh para pengunjung di kafe itu.
“om….?” Tanya Umairoh kepada lelaki beringas itu.
“oh iya ada yang bisa saya bantu?” Tanya lelaki beringas.
“mau nanya om.” Tanya kembali Umairoh.
“gak ada nanya di daftar menu mah… haha bercanda ketang.” Jawab lelaki itu dengan sok akrabnya
“eh.. haha.. ini… sambil mesen es lemon
tea.” Jawab Umairoh.
“oh iya siap-siap… ada apa mang?”
Tanya lelaki yang menyangka Umairoh adalah laki-laki.
“mang?? Astaga… haha kenapa
mang, padahal baru dari salon, apa rambutnya terlalu pendek, ah biarin ah cuek
aja. ” Dalam hati Iroh.
“oh ini om mau nanya, kemarin malam kan saya kesini, kenal sama kasir
yang waktu kemarin malam gak?” Tanya Iroh.
“kasir yang mana? Asa banyak
yang ngebantuin jadi kasir da di sini mah, ciri-cirinya gimana?” Tanya lelaki
itu.
“Rambutnya cepak belah satu, yang kurus tegap badannya, yang agak
maleman ngejaga di kasirnya.” Jawab Iroh.
“Oh yang cepak-cepak mah acen namanya…. Anak cepak nakal hahahah.” Canda
lelaki itu.
“ah masa… hahhaa… aslinya om? Itu teh namanya aslinya?” Tanya iroh yang
masih penasaran.
“aslinya mah siapa ya lupa
lagi, da baru-baru ini dia teh, Fulan
gitu kalau gak salah mah.” Jawab lelaki itu dengan ragu-ragu.
“wah ternyata benar…. Hahaha… Dia benar-benar Fulan… astaga.” Dalam
hati Iroh kegirangan.
“oh iya bener-bener om, makasih om, oh iya om tapi mana orangnya?” Tanya
Iroh.
“gak tau atuh mang, da saya mah bukan pacarnya, cuman selingkuhannya, haha
ada apa gitu mang?” Jawab lelaki itu.
“ini om udah lama gak ketemu, kangen…” Jawab Umairoh.
“oh selingkuhannya juga hahah, nanti malem dia mah biasanya juga, kesini aja lagi atuh nanti malem.” Canda lelaki itu.
Berjanji datang lagi nanti malam, Iroh bergegas pulang untuk
beristirahat sementara. Mengantuk, tadi malam ia hanya tidur sekitar tiga jam. Dengan
kepastian atas jawaban tentang Fulan, tidurnya kali ini terasa lebih tenang.
Tersenyum dan terlelap. Beberapa jam berlalu. “Astaga kebablasan tidur,
kemaleman ini.” Bergegas Iroh membereskan penampilannya, sholat, dan langsung
pergi ke kafe tempat Fulan bekerja. Sesampainya di kafe.
“cen itu ada yang nyariin, temen tuh.”
Seru lelaki beringas kepada Fulan.
“oh iya om, siap siap.” Jawab Fulan.
“Fulan… Hei…” Tanya Umairoh dengan tersenyum.
“Hei…” Jawab Fulan dengan gugupnya.
Entah apa yang dirasakan Fulan ketika bertemu Umairoh, yang jelas pertemuan
mereka dilancarkan. Diiringi lantunan musik nostalgia, gemerlap lampu kafe,
dinginnya angin malam. Fulan pun menjelaskan semuanya dari awal, pertemuannya
dengan Aminah, pesantren, tujuan hidupnya yang baru, perubahannya, dan kafe
ini. Memang, Fulan merasa bersalah tidak mengabari Iroh, ia terlanjur janji
untuk sementara hidup mandiri dan tidak bergantung kepada Umairoh. Tapi itu
bukan masalah untuk Umairoh, setidaknya dengan niat dan perubahan Fulan yang lebih
baik, ia tampak lebih tenang, damai, dan bersyukur.
“acen, kenalin atuh siapa temen teh.”
Tanya seorang pengunjung kepada Fulan.
“oh iya mang, ini temen saya, kenalin…” Jawab Fulan.
“Umairoh mang…” Jawab Umairoh kepada pengunjung yang bertanya itu.
“Umairoh? Ko laki-laki namanya kaya perempuan ya… hahahaha bercanda
bercanda.” Celetuk pengunjung itu.
“siaaaaaalan, lagi-lagi disangka laki-laki, ah shit… gara-gara dada datar gitu? ah gimana ya… iya ajalah udah
terlanjur, biar akrab, daripada di goda.” Pasrah Umairoh.
“Fulan…” bertanya Umairoh.
“Aneh. Ada apa dengan orang-orang di kafe ini? Malam-malam begini masih
keluruyuran bergaul di kafe? apa tidak
ingat anak istri di rumah? apa tidak peduli dengan pekerjaanya besok? Apa tidak
sayang uang mereka dihabiskan hanya untuk batang berasap dan secangkir kopi?
Apa tidak sayang waktu mereka dihabiskan hanya untuk mendengarkan musik dan
bercengkrama? Fulan? Apa kau baik-baik saja? Apa kau nyaman dengan pekerjaan di
kafe ini?” Berbisik khawatir Umairoh kepada Fulan.
“Jangan khawatir. Sama halnya denganmu. Awalnya memang berpikiran
negatif. Tapi cobalah kau lihat sisi positif dari kondisi terburuk disekitarmu.
Insyaallah jika berpikiran positif
hasilnya pun akan positif. Don’t judge
book by it's cover. Jangan melihat luarnya yang terlihat negatif, lihat dan
rasakanlah lebih dalam, dan jika kau memandangnya dengan positif, maka kau akan
benar-benar mendapatkan hal yang positif. Bahkan lebih dari itu.” Jawab Fulan.
“Astaga, Fulan. Kau benar-benar berubah, bukan saja dari tampilanmu, bahkan
sikapmu pun berubah, lebih bijaksana.” Terharu Umairoh.
“Haha. bukan, bukan begitu… aku hanya mempelajari perjalanan hidupku.
Menikmati, memahami, dan mensyukuri. Dengan begitu kau akan mendapatkan
hikmah.” Jawab Fulan dengan tersenyum.
Terharu. Benar-benar Terharu. Dalam waktu yang singkat, sungguh, Fulan
benar-benar berubah. Bukan hanya Umairoh yang tidak bisa berkata-kata. Bahkan
malam dan angin pun membisu dengan perubahan Fulan. Sungguh sang Maha Kuasa
begitu dekat dengan kita, bukan Dia yang enggan memberi kita hikmah, tapi
kitalah yang enggan untuk memahaminya bahwa hikmah dan petunjuk itu selalu ada.
Tinggal kita sadari, bahkan dalam kondisi terburuk pun kita harus memahaminya.
Berpikir positif untuk Mempelajari
hidup. Nikmatilah. Pahamilah. Syukurilah. Dengan begitu engkau akan
mendapatkan hikmah. Bahkan lebih.
Komentar
Posting Komentar