Taubat? Entahlah (VIII)
Senja pagi hari mulai membumbung tinggi. Udara dingin nan sejuk mulai
terasa di tubuh. Di tempat pesantren yang mulai ramai. Tince, bukan… Fulan.
Selesai sholat shubuh, mandi, lalu berpamitan kepada Aminah dan lainnya untuk
pulang, memang acara perpisahannya tidak bermakna, tetapi bekal kehidupan yang
ia dapat dari pesantren sangatlah bermakna. Atas dukungannya dari Aminah, atas pengetahuan
ilmu agamanya yang bertambah, atas keyakinannya akan janji-janji Tuhan, ia semakin
mantap untuk menjadikan dirinya sebagai laki-laki sejati. Taubat? Entahlah.
Pulang menaiki bus kota. Fulan termenung memikirkan masa depannya,
langkah-langkah kedepan yang ia akan lakukan untuk menjadi lelaki sejati, mencari
pekerjaan baru, berpisah sementara dengan Umairoh, dan mencari teman-teman
seperjuangannya. Dua jam berlalu, di pemberhentian terakhir, Fulan turun di
tengah keramaian Terminal, berjalan sekitar dua meter dari terminal, ia melihat
sebuah kafe yang sedang mencari pegawai baru. Melangkah masuk ke dalam kafe, ia
merasa yakin pekerjaan di kafe inilah awalan yang baik untuk kehidupannya yang
baru. Diterima? Entahlah.
Minggu-minggu selanjutnya. Ditempat lainnya. Umairoh melakukan aktifitas sehari-seharinya seperti
biasa, pergi bekerja menjadi guru dan pulang ke kostan untuk beristirahat. Lama sekali Iroh ditinggal pergi Fulan. Benar kata orang, seseorang yang berarti
akan sangat terasa justru ketika seseorang itu sedang tidak ada. Dan hingga
detik ini tak ada kabar satu pun dari Fulan. Rindu? Entahlah.
Bosan di kostan, Iroh pergi keluar untuk menikmati suasana sore hari,
entah pergi kemana yang jelas jalan santai sore-sore. Ditemani lagu-lagu yang
ia dengar dari headshet, ia malah
keasyikan jogging daripada jalan
santai. Tak konsisten. Setelah ke-cape-an
ia menghentikan larinya dan berjalan santai sambil mencari minum. Seberang
jalan ia melihat sebuah kafe yang tampak sepi, di kafe itulah ia membeli minum.
Setenggak dua tenggak, melepas dahaga dan mengobati rasa hausnya. Nikmat? Entahlah.
Malam tiba. Pukul delapan lebih dua puluh tujuh menit. Iroh berdandan
cantik seadanya, rambut pendeknya kini sebahu, diikat digulung kebelakang agar
terlihat lebih rapih, ah... memang wanita berambut pendek memilik daya
kecantikannya tersendiri. Merasa cantik dan percaya diri, ia mantap pergi keluar
untuk bertemu seseorang lelaki yang sedang dekat dengannya. pedekatean? Entahlah.
“maaf ya lama Um…”
“jangan Um atuh Iroh aja haha, iya gak apa-apa ko aku juga baru datang.”
“mantap nih kafenya, ada live
music-nya juga, keren nih milih tempatnya.”
“hahah aku juga baru tau tempat ini sore, minumannya enak-enak loh, murah-murah
lagi.”
“wihh keren keren, nama minumannya aneh-aneh.”
“pesen atuh… tuh kopi kuda
jantan, buat laki-laki perkasa haha.”
“hahaha…”
Pertemuan mereka diadakan di kafe tempat iroh membeli minum tadi sore. Sambil
menikmati minuman dan lantunan lagu romantis. Iroh dan laki-laki itu saling
bercakap-cakap ria. Entah siapa nama lelaki itu, susah diingat, yang jelas ia baru
kenal lewat temannya dan berhubungan melalui kontak telepon. Memang, baru
pertama kali ini ia bertemu langsung dengannya dan menatap wajahnya. Ganteng? Entahlah.
“oh iya, ngomong-ngomong pekerjaan kamu apa?” Tanya Iroh.
“pebisnis… oh iya, aku ada bisnis nih, kamu pasti suka deh, lumayan
nanti uangnya bisa buat kafe kaya gini, haha.” Jawab laki-laki itu sambil
melihatkan prospek bisnisnya.
“sialan… pebisnis MLM ternyata” Balas Iroh dalam hatinya.
“oh haha gak deh kayanya.” Balas Iroh yang sudah ilfeel duluan.
Malam masih panjang. Percakapan berakhir. Lelaki itu sebenarnya baik,
manis, perhatian, tapi kenapa harus pebisnis MLM, iroh jelas-jelas trauma
dengan MLM, yang ada bukannya jadi pacarnya, tapi malah jadi budak MLM. Sialan…
di-PHP-in MLM. Baru saja tiga minggu pendekatannya berjalan, kenapa harus berujung
seperti ini? Ah, kecewa memang. Kalau boleh jujur, ia memang merasa kesepian
setelah putus dengan Anas, manusiawi memang, berharap terobati oleh kedatangan
lelaki yang baru, ternyata pelariannya malah menjadi seperti ini. Nasib ya
nasib. Sakit hati? Entahlah.
Sungguh. Iroh kecewa atas pertemuannya malam ini. Tidak perlu
diteruskan, dan tidak perlu diperpanjang lagi. Sudahlah, ia ingin pulang,
melupakan semuanya. Bergegas pulang dengan seribu alasan, ia pergi tanpa berpamitan
kepada lelaki MLM itu. Karena tergesa-gesa pulang, nyatanya ia lupa untuk
membayar minumannya. Malu? Ah itu sudah biasa. Mendekati kasir, lalu mengambil
lembaran uang yang ada di dompetnya. Selesai ia membayar…
Astaga……..
Dengan muka yang datar, dan mata sedikit melotot. Iroh terkejut. Terheran-heran.
Kenapa?
Ada apa?
Lelaki ini………. Lelaki ini……..
Bukan… bukan… lelaki MLM tadi….
Tapi dia….
Ya tuhan……..
Fulan……………..?
Entahlah.
Komentar
Posting Komentar